Banyuwangi – Kabupaten Banyuwangi yang memiliki garis pantai yang panjang serta alam yang subur menjadi perhatian banyak orang sejak dulu kala. Sehingga menarik banyak kedatangan warga lain dari berbagai etnis, suku, ras dan agama. Entitas yang berbeda itu, terjalin erat dengan penduduk asli Blambangan dan membentuk wajah Banyuwangi saat ini.
Wajah Banyuwangi yang plural inilah yang melatarbelakangi terselenggaranya Festival Kebangsaan di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, yang digelar kemarin Rabu (29/12/2021).
"Keberagaman yang ada di lingkungan kita ini, bukan menjadi alasan untuk saling membeda-bedakan. Tapi, justru untuk saling mengenal dan memperkuat persatuan," ungkap Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani saat membuka acara tersebut secara virtual.
Dengan kerukunan dan persatuan semua suku dan etnis tersebut, Ipuk berharap, Banyuwangi akan semakin aman dan nyaman. "Sehingga semua dapat bekerja dan beraktivitas dengan lancar. Memberikan yang terbaik untuk daerah. Semuanya menjadi sejahtera," ungkapnya.
Festival Kebangsaan kali ini menghadirkan berbagai etnis dan suku yang tinggal di Banyuwangi. Selain suku Osing yang merupakan penduduk asli, juga terdapat berbagai suku lain. Seperti Jawa, Madura, Bali, Mandar-Bugis, Minang sampai etnis Tionghoa dan Arab. Mereka mengenakan berbagai baju khasnya masing-masing.
"Jika melihat sejarah, seluruh suku dan etnis yang tinggal di Banyuwangi ini telah turut berkontribusi untuk membangun daerah kita tercinta ini. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengucilkan atau bahkan mendiskriminasi. Semua berhak untuk mengekspresikan dirinya di bumi Blambangan ini," ungkap Plt Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Banyuwangi Muhammad Lutfi.
Desa Patoman sendiri sengaja dipilih sebagai tuan rumah karena memiliki karakter keberagaman etnis dan agama. Di desa yang berbatasan dengan pantai ini, terdiri setidaknya ada empat suku yang tinggal. Selain Osing, juga ada suku Jawa, Madura dan Bali. Menariknya, masing-masing suku tersebut tetap mempertahankan budaya dan bahasanya.
"Semuanya hidup rukun dan saling berbaur dengan baik. Inilah yang kemudian menjadi alasan utama kegiatan ini diselenggarakan di sini. Desa ini juga bisa disebut Desa Kebangsaan," tambah Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Banyuwangi Miskawi.
Ekspresi keberagaman dalam festival kebangsan tidak hanya terlihat dari aneka jenis baju adatnya. Namun, juga terlihat dari tumpeng yang disajikan. Mulai tumpeng Osing, Jawa, Madura, sampai tumpeng kebuli khas Arab.
Selain itu, juga ditampilkan tari barong dari lintas suku dan etnis. Di awali dengan tari barong khas Bali yang diiringi dengan Rande dari Patoman. Kemudian disusul dengan tari barong Osing dari Gintangan dengan iringan gamelan yang khas. Kemudian ditutup dengan tari barongsai persembahan dari komunitas Tionghoa TITD Hoo Tong Bio, Banyuwangi.
"Keseniannya boleh sama, barong. Tapi, masing-masing punya kekhasannya sendiri. Inilah kekayaan dari keragaman budaya di Banyuwangi," terang Lutfi. (*)